Nona Rahadian :D

Nona Rahadian :D
why so serious

Februari 23, 2010

KU CINTA MEREKA

BEGITULAH DIRIKU KINI…BAHKAN TERKADANG LUPA DENGAN KEWAJIBANKU SEBAGAI SEORANG MUSLIM…
HHMM….KUARUNGI KEHIDUPANKU SELAMA INI BENAR-BENAR TAK MEMBERIKAN SEDIKITPIN MAKNA TENTANG ARTI SEBENARNYA DARI KEHIDUPAN INI,,,
UNTUK APA KITA HIDUP DAN APA YANG HARUS KITA LAKUKAN DI TERMPAT PERSINGGAHAN INI..
AKU DARI KELUARGA YANG SANGAT SEDERHANA, KADANG SERING DIHINGGAPI KEKURANGAN KEBUTUHAN HIDUP YANG SERI8NG MEMBUATKU SEMBUNYI DIKAMAR LALU MENANGIS..APA YANG AKU PIKIRKAN SAAT ITU ADALAH
“TERNYATA BEGINILAH SITUASI KELUARGAKU YANG SEBENARNYA” HUHH…KALAU SAJA AKU PUNYA PILIHAN TENTULAH AKU MEMILIH UNTUK HIDUP DIATAS KEMEWAHAN YANG ABADI..AKU TAK PERLU MENANGIS JIKA SESUATU YANG KUINGINKAN TAK DAPAT DIPENUHI,,,APALAGI DENGAN USIAKU SEKARANG YANG SUDAH MENGINJAK KEPALA DUA…SUDAH MENJADI SOSOK GADIS REMAJA DEWASA YANG LUAR BIASA TAPI BIASA-BIASA SAJA..HINGGA SUTU KETIKA AKU TERMENUNG MELIHAT KEDUA ORANG TUAKU…
IYAH…..SOSOK WANITA HEBAT DAN PRIA TANGGUH YANG TAK PERNAH MENYERAH MELALUI HIDUP INI…MEMPUNYAI DELAPAN ANAK ITU BUKAN SATU HALANGN BUAT PAPAKU YANG MENJADI TULANG PUNGGUNG SATU-SATUNYA DALAM KELUARGA KAMI..PROFESINYA SEBAGAI SEORANG PETANI..
SUNGGUH LUAR BIASA SANG KHALIK MENCIPTAKAN MANUSIA DIBUMI INI, SEMUA TENTULAH ADA MAKSUD DAN TUJUAN…
SLALU KUKATAKAN “TUHAN TAHU TAPI MENUNGGU” INI ADALAH SATU KALIMAT YANG SANGAT MENGINSPIRSIKU MENJALANI HIDUP INI, KUDAPATKA DARI SEORANG PENULIS MUDA TERKENAL YANG MELAMBUNG DI NOVELNYA YANG BERJUDUL LASKAR PELANGI…
***********
BEGITULAH CARA ALLAH MENYAYANGI KELUARGAKU…DINAHKODAI PAPAKU LAHIRLAH SAUDARA-SUDARA YANG LUARBISASA, MEREKA MENJADI SOSOK YANG SANGAT ENGGAN UNTUK MENCERITAK KESULITANNYA KEPADA BELIAU, ENTAH ADA MAKSUD APA YANG TERSEMBUNYI DIBALIK SEMUA INI,NAMUN SECARA LOGIKA AKU BISA MEMAHAMI INI SEMUA AGAR KEDUA ORANG TUAKU TAK MERASA TERBEBANI DENGN MASALAH ANAK-ANAKNYA..SUNGGUH MULIA MEREKA DIMATAKU JIKA APA YANG KUPIKIRKAN INI BENAR-BENAR TERJADI..!! DAN ITU PULA YANG KURASAKAN HARI INI, AKU TUMBUH DEWASA DENGAN SENDIRINYA..TAK NEKO-NEKO SEPERTI YANG LAINNYA…BAHKAN AKU TERBIASA HIDUP JAUH DARI KASIH SAYANG ORANG TUA..NAMUN DARI KEJAUHAN INILAH YANG YANG MEMBUATKU SEMAKIN MENYAYANGI KEDUANYA..BETAPA BERHARGANYA MEREKA BAGIKU..WALAUPUN TERKADANG SERING TERBESIT DIHATI INI MERASA TAK DICINTAI KEDUANYA…ALLAH AKAN BENAR-BENAR MURAKA DENGAN ANGGAPANKU ITU…TAPI INI SEMUAR MASIH WAJAR DIRASAKAN OLEH SEORANG ANAK MANUSIA..!!
AKU SLALU BERUSAHA APA YAG KUTOREHKAN INI MENGALIR DENGAN SENDIRINYA, TANPA ADA SYAIR-SYAIR INDAH YANG DI BUMBUI UNTUK MEMBUAT ORANG LAIN TERTARIK MEMBACANYA SEBAGAIMANA CARA ORANG TUAKU MENDIDIKKU HINGGA KINI

Februari 03, 2010

november

Selalu demikian di bulan Nopember ini. Hujan benar-benar mewarnai hari. Sore. Ya, pukul empat lebih, hujan seperti pantulan manik-manik kaca menderas seketika dengan anggunnya. Aku menyesal, sumur di luar pasti akan keruh lagi airnya, mestinya diberi atap nanti. Hujan. Aku duduk di sini, dekat jendela kaca memerhatikan curahan air yang mengguyur serentak dari udara. Seperti apakah bunyinya? Di atas atap, di dedaunan, di tanah becek, bahkan di kolam ikan yang berderet nun di luar? Aku tak tahu. Sunyi. Kecuali gelegar petir yang menghantam bumi. Ya, hanya itu yang kurasakan. Aku ingat kamu. Aku suka hujan, aku suka suasananya yang begitu kontemplatif. Kurasakan ekstase tertentu jika hujan. Memberiku inspirasi untuk menulis puisi. Bahkan juga menulis surat untukmu dalam suasana hujan kupikir cukup romantis, meski isinya terkadang bernada humor yang ironis. Aku rindu suratmu. Yang selalu hangat dan menggembirakan, simpel dan terkadang menggetarkan. Namun mungkin kamu sudah kecewa dengan kenyataan yang kuungkapkan dalam suratku yang barusan kukirimkan. Mungkin kamu kebingungan dan terpaksa bertanya pada orang yang kebetulan pernah bertemu denganku, entah Mas SANDI atau RUDI, meski ada yang merasa tak berhak untuk mengatakan apa-apa karena aku sudah memintanya agar jangan dulu mengabarkan kehadiranku pada orang-orang untuk suatu alasan. Dan rentetan kemungkinan lainnya mengendap dalam benakku. Namun aku harap kamu benar-benar cukup dewasa untuk menerima realita dalam hidup yang penuh ketakterdugaan. Aku kesepian. Apa yang kulakukan. Duduk di kursi sembari mengangkat kaki, dan di rumah hanya ada aku sendiri. Aku membayangkan kamu. Sosok yang tak pernah kutemui. Hanya foto yang kamu kirimkan melengkapi imajinasi: seorang lelaki gondrong yang menarik, dan merasa dirinya secara psikologis sudah dewasa dalam usia 23 tahun. Heran, di luar belasan burung entah apa namanya berseliweran dalam guyuran hujan begini, apa yang mereka cari? Barangkali kamu lebih tahu ekologi dan mau berteori? Aku kedinginan. Aliran listrik padam. Barangkali segelas teh manis panas bisa menghangatkan tubuhku. Apakah di Bandung saat ini sedang hujan juga, dan kamu tengah bagaimana? Mengisap A Mild ditemani secangkir kopi panas? Menulis puisi, cerpen, esai, surat, atau tugas mata kuliah? Di kampus, di rumah, atau di suatu tempat entah? Membaca diktat, buku tertentu, karya sastra, atau komik? Di depan monitor komputer, mengobrol, atau nonton TV? Mendengarkan The Doors atau Ebiet G. Ade? Tidur atau makan? Salat Asar atau menggigil kehujanan? Atau mengguyur badan di kamar mandi? Atau tak melakukan apa-apa sama sekali? Cuma Tuhan yang tahu. Relasi yang aneh, katamu, karena lewat surat. Lalu kamu menyuruhku belajar internet biar bisa bikin e-mail dan tak perlu ke perpustakaan konvensional. Dan kamu janji akan mengajariku jika nanti bertemu. Bertemu. Aku juga ingin bertemu kamu. Namun untuk apa? Adakah makna dari pertemuan itu? Kubayangkan kamu sebagai Indra, temanku, yang membagi dunia lewat tangannya. Namun apa kamu bisa bahasa isyarat sederhana cara abjad? Kamu kecewa karena aku tuli? Apakah dalam surat pertamaku aku harus memberitahu siapa diriku secara mendetail? Aku telah mengambil risiko. Begitu pun kamu. Risiko untuk merelasi diri dan berinteraksi dengan orang asing. Sebuah silaturahmi yang kumulai, haruskah berakhir sia-sia? Aku berusaha menerima diriku sebagaimana adanya dan menjadi orang biasa, meski aku tahu orang-orang di sekitarku kecewa. Keluarga, teman-teman, sahabat dekat, sampai siapa saja yang memang merasa harus kecewa. Bertahun-tahun, ada belasan tahun mungkin, sejak usiaku 16 tahun sampai 25 tahun, kujalani hari dengan sunyi, sebuah dunia tanpa bunyi-bunyi. Bisakah kamu bayangkan? Ah, aku tak akan bisa mendengar permainan harmonikamu, lalu membandingkannya dengan permainan harmonika abangku. Atau denting gitarmu dengan Eric Clapton. Atau bagaimana suatu melodi tercipta dari puisi. Aku juga tak akan tahu warna suaramu saat memusikalisasikan puisi, berdeklamasi, menyanyi, tadarus, berperan dalam lakon teater, atau bicara biasa saja. Kamu masih ingat, dalam salah satu suratmu, kamu menulis: Setting: Kamar, 141000 - 21.20 WIB, Dewa 19 - Terbaik-terbaik. Gurun yang baik. Barangkali sekaranglah saatnya! Lalu kamu membiarkan selembar halaman kertas itu kosong. Aku mengerti artinya, kamu ingin aku memutar lagu tersebut, dan membiarkan Terbaik-terbaik bicara. Sesuatu yang tengah menggambarkan suasana hatimu saat itu? Sayang, aku tak bisa melakukannya. Kata teman-teman, lagu itu tentang cinta dan persahabatan. Kurasa aku harus bertanya pada Rie, Indra, atau Nana; apa ada yang punya teksnya? Ironis, bukan? Tampaknya kamu senang menulis dengan diiringi musik. Aku iri padamu. Karena aku ingin tahu juga seperti apa indahnya musik klasik itu, entah Mozart yang kata Indra melankolis; atau Chopin di masa silam, gumam Cecep Syamsul Hari dalam puisi Meja Kayu yang kembali muram-surealis, menulis lagu pedih tentang hujan2; atau tahu di mana letak jeniusnya Beethoven yang mencipta komposisi meski tuli; dan bisa mengerti mengapa ayahku sangat menyukai musik klasik selain country. Aku rindu bunyi gamelan, dan ingin kembali belajar menari. Entah jaipong Jugala, tari klasik Jawa, atau mungkin sendratari seperti yang sering kusaksikan di TVRI waktu kecil dulu. Aku ingin berperan sebagai Drupadi atau Srikandi, perpaduan antara kelembutan dan keperkasaan. Kamu lebih suka karakter Bima? Aku suka karakter Yudistira, ia satu-satunya yang (hampir) berhasil mencapai puncak Mahameru sementara saudara-saudaranya satu per satu berguguran. Kamu tahu artinya, kan? Aku lupa penggalan kisah ini dari komik wayang R.A. Kosasih atau majalah Ananda -- yang pernah kita baca waktu kanak-kanak dulu, meski mungkin dalam dimensi yang berbeda. Sudahlah, setidaknya aku bisa tahu minatmu, dan kamu tahu minatku. Aku tak tahu banyak tentang musik, padahal kamu pasti asyik sendiri dengan The Corrs, Dewa, Kubik, Jim Morrison, bahkan juga Jimi Hendrix. Mengapa sih dalam cerpenmu yang barusan dimuat koran, kamu menulis soal Jimi Hendrix dan Jim Morrison? Itu mengingatkanku pada Abuy teman SMU-ku yang sangat mengidolakan mereka dan senang cerita soal itu padaku, seolah merekalah yang bisa meluapkan kegelisahan terpendamnya yang liar menuju muara kebebasan. Lucu, adakah orang tuli yang begitu besar rasa ingin tahunya tentang sesuatu yang tak mungkin bisa dirasakan. Katakan aku aneh. Aku memang orang aneh. Namun aku juga berharap bisa tahu lebih banyak tentang Iqbal, Rumi, Camus, Dylan, Gibran, Cummings, Malna, sampai Rendra. Ya, itu jika kita bertemu. Mungkinkah itu? Tempias hujan tidak deras lagi, namun kesedihan itu masih menghantam ruang terdalam. Aku butuh kawan. Kamukah orangnya? Tidak, kamu mungkin sudah berharap agar aku jadi seseorang yang ke lima setelah kamu kecewa dengan sekian perempuan yang masuk dalam hidupmu, meski itu terlalu dini karena kita baru tiga kali saling menyurati. Semudah itukah hatimu terpaut, atau kamu cuma ingin mengujiku? Tidak. Aku tak berharap apa-apa darimu. Aku hanya ingin jadi kawanmu. Kawan biasa. Bukan pacar. Meski aku juga ingin punya pacar, sebagaimana perempuan kebanyakan. Seseorang yang membuatku jatuh cinta sungguhan. Seseorang yang mencintaiku apa adanya. Seseorang di mana bisa berbagi dunia. Naifkah? Hujan. Aku kembali memandang ke luar jendela kaca. Di sana gunung begitu dekat dengan latar pepohonan seperti hamparan permadani hijau kebiruan, dan kabut yang mengental; terasa beku dalam pelukan kegaiban-Nya. Ya Tuhan, barusan kulihat kilatan petir membelah langit desa di sebelah utara. Subhanallah, indah sekali bentuknya; kilatan warna perak yang abstrak dengan latar kelabu. Aku membayangkan bagaimana seandainya jika petir tiba-tiba menghajarku. Sudahlah, mungkin lebih baik aku membayangkan diriku sebagai Walter Spies atau Alain Compost; akan kuabadikan keindahan panorama hujan. Tidak. Aku bukan mereka. Aku cuma punya kata-kata. Bukan kuas atau kamera. Namun kata-kata yang berhamburan dari mulutku pasti tak akan kamu mengerti sepenuhnya jika kita berbicara. Kamu akan membutuhkan waktu untuk mengenali warna suaraku yang kacau intonasinya, seperti teman-teman dekatku. Mungkin cukup lama. Apakah kita akan bertemu dan bicara seolah kawan lama dengan akrabnya? Atau kaku lalu merasa sia-sia? Aku bukan May Ziadah, Elizabeth Whitcomb, Mabel Hubbard-Graham Bell, Marlee Matlin, atau Jane Mawar. Atau perpaduan perempuan mana yang pernah kau kenal.

ya rabb....

Aku tau apa yang harus kulakukan...tapi banyak yang tak pasti dihati ini...semakin ku berontak semakin aku terikat...
ya sang maha pemilik apa yang ada di bumi ini...apa ini satu teguran lagi buatkku???aku takut salah melangkah...begitu berat cobaan yang kau berikan, hingga diri ini semakin tak berdaya..
apa yang harus kulakukan ya Allah.....
kuatkan Aku....biarkan diri tercambuk oleh tegurn Mu jika nantinya akan ada hal-hal baik yang menunggu ku di depan...

Februari 02, 2010

ketika kau mulai mengenanl Cinta...

kini aku semakin dewasa
dimana hati sudah mengenal cinta...
aku sudah masuk kedalam dunianya
walaupun raga ini sebetulnya belum siap mengahadapi situasi nantinya...

mereka...
orang-orang yang mencintaiku semenjak kubuka mata ini
selalu mengisyaratkan..bertanya dan bahkan menasehati..
Hai Anakku...
siap kah jika nanti kau merasa tersakiti??

hahh....
aku bahkan tak peduli sepatah kata apapun yang keluar
dan tertuju padaku...
kupikir tak ada alasan aku menolak rasa inidah ini...
rasa yang sebelumnya belum pernah menghantam hebat naluriku ini..
bahkan bak cerita dongeng...akupun kadang sering menyendiri...
hingga tak mau makan karenanya...
hehehe lucu...tappiiiii...apa yah??memang benar cinta itu buta..
oleh karenanya...
sedikit solusi buatmu..jika hari ini kau sudah mulai jatuh cinta...persiapkan dulu bekal mu nanti disana..., kalo ga keberatan bisa liat dibawah ini ni......

ingat preend....

1. Iman...(kalo punya agama...wkwkwk)
2. terbuka...(tapi jangan buka baju..kalo kancing saja boleh..heheh kidding)
3. menerima perbedaan...( krna km sama dia jelas berbeda)
4. cari tau syapa pacarmu...(ini sangat penting, jangan2 dia punya hub family ma km)
5. berani katakan tidak...(say no to apapun yang menurutmu ga penting.tapi jangan egois)
6. kesetiaan...(kalo ga kuat, cukup 2aja,jangan 3 heheh)
7. mata...(harus siap nangis...itu mutlak talak 5)
8. sabar..(coba ajja..)

coba dulu tips diatas...tapi aku tak menjamin apapun yaah...insya Allah berhasil!!
biar ga trauma dan aku berniat mengurangi cemohan orang diluaran sana kalau laki-laki itu semuanya brengsek???km stuju ga??!! d
dulu aku juga sempat menjadi komandan dibarisan depan para wanita yang menganggap itu benar, tapi kalo iya.....berarti papaku???papamu?? juga kena kan??? maka dari itu kita haru mikir sebelum berucap..

do not carry emotions later regret...